
Tapi di balik semua kenyamanan itu, ternyata ada drama besar antara aplikator (perusahaan penyedia aplikasi) sama driver (para abang dan mbak ojol di lapangan). Hubungan keduanya tuh kadang kayak cinta segitiga: saling butuh, tapi sering bikin sakit hati.
Nah, di artikel ini kita bakal bahas permasalahan aplikator ojol dengan driver dari berbagai sisi. Siap-siap, karena ini panjang, pedes, tapi juga lucu-lucuan biar nggak tegang. 😎
Tarif Ojol: Murah Buat Penumpang, Pedih Buat Driver
Salah satu drama klasik ojol tuh soal tarif. Penumpang maunya murah, aplikator promoin harga receh, eh driver yang ngos-ngosan di jalan dapetnya tipis banget.
Contoh Kasus:
Tarif perjalanan 5km cuma Rp10 ribu.
Potongan aplikator bisa sampe 20%–40%.
Driver cuma bawa pulang Rp7 ribu.
Belum lagi jika double order, jarak beda jauh pesanan kedua tarif dikurangi hampir 50% dari harga pesanan pertama.
Coba lo bayangin, bensin naik, harga mie instan naik, tapi tarif ojol malah ditahan. Gimana driver nggak ngelus dada? Makanya banyak driver teriak:
“Aplikator makin kaya, driver makin sengsara.”
Sistem Insentif: Dari Manis ke Sadis
Dulu awal-awal ojol booming, sistem bonus & insentif tuh bikin driver semangat narik. Contoh: sehari 10 order bisa dapat bonus Rp50 ribu. Mantap kan?
Tapi makin ke sini, aplikator makin “kreatif” motong bonus. Syaratnya ribet, jumlah order minimal dinaikin, dan kalau ada order cancel sedikit aja, bonus lenyap!
Jadinya driver merasa digaslighting sama aplikator. Awalnya manis, lama-lama sadis.
Suspensi Akun: Driver Nggak Bisa Bikin Banding
Banyak driver ngalamin suspend akun gara-gara laporan sepihak dari customer. Kadang sepele banget, misalnya telat jemput 5 menit, atau dituduh nggak sopan.
Masalahnya, aplikator lebih percaya sama customer dibanding driver. Padahal kan dua-duanya pengguna aplikasi. Akhirnya banyak driver ngerasa nggak ada keadilan.
Driver sering bilang:
“Kami ini aset perusahaan, bukan robot yang gampang di-ban!”
Biaya Operasional: Driver yang Tanggung Semua
Jangan salah, kerja ojol itu nggak sekadar bawa motor.
Driver harus nanggung:
- Bensin (yang makin mahal).
- Servis motor (ban bocor, rem blong, oli abis).
- Pulsa & kuota internet (biar bisa nyalain aplikasi).
- Cicilan motor (buat yang kredit).
Sementara aplikator? Mereka cuma duduk di kantor ber-AC, mantengin grafik, dapet cuan dari potongan order.
Makanya banyak driver bilang:
“Kita ini bukan mitra, tapi karyawan tanpa gaji tetap.”
Persaingan Antar-Driver: Rebutan Order
Gara-gara sistem auto-bid, driver sering rebutan order. Yang koneksi lemot atau HP jadul pasti kalah cepet. Ditambah lagi, kalau orderan sepi, driver bisa keliling berjam-jam tanpa dapet job.
Ini bikin persaingan makin panas, bahkan kadang sampe berantem di lapangan. Drama “zona merah” alias rebutan orderan masih jadi masalah klasik.
Order Fiktif & Customer Nakal
Selain aplikator, masalah lain datang dari customer nakal. Ada aja yang bikin order fiktif, kasih rating jelek tanpa alasan, atau bahkan ngerjain driver.
Contoh:
Order makanan Rp200 ribu, pas sampe alamat ternyata palsu.
Driver yang rugi, aplikator cuma bilang: “Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.”
Kocaknya, driver yang jadi korban masih dipotong saldo sama aplikator. Double kill, bro!
Demo Driver Ojol: Suara yang Sering Diabaikan
Nggak heran kalau akhirnya driver sering turun ke jalan buat demo. Tuntutannya selalu sama: tarif naik, bonus adil, potongan dikurangi, dan perlakuan lebih manusiawi.
Tapi ya gitu, aplikator sering pura-pura budek. Aksi driver jadi kayak tontonan rutin aja, tapi hasilnya minim.
Berikut ini kita simak jalannya Rapat di DPR RI dengan Kemenhub dibawah ini:
Status “Mitra” yang Nanggung
Aplikator selalu bilang driver itu mitra, bukan karyawan. Tapi kenyataannya?
- Driver nggak punya gaji tetap.
- Nggak ada BPJS atau jaminan kesehatan dari aplikator.
- Semua biaya ditanggung sendiri.
Tapi aturan ketat tetap berlaku, kayak karyawan: target order, aturan suspend, dan potongan yang gede.
Jadi, mitra rasa karyawan, tapi hak-hak karyawan nggak dapet.
Algoritma Aplikator: Misteri yang Bikin Pusing
Driver sering ngeluh soal algoritma bagi order yang nggak jelas. Ada yang udah online berjam-jam tapi nggak dapet job, sementara driver lain bisa dapet order terus.
Banyak yang curiga algoritma lebih nguntungin driver baru atau yang sering kasih rating bagus ke aplikator.
Permasalahan Ekonomi Makro: Ojol Jadi Korban
Krisis ekonomi, harga BBM naik, biaya hidup melonjak, semua itu kena imbas ke driver. Tapi tarif ojol sering nggak ikut naik.
Akhirnya driver jadi korban dua kali:
- Dari sisi ekonomi nasional.
- Dari sisi kebijakan aplikator.
Timbul konflik Driver vs Driver: Perang Tarif & Zona
Selain masalah sama aplikator, driver juga kadang perang sendiri. Ada istilah zona terlarang buat ngetem, ada juga konflik rebutan penumpang. Bahkan ada driver yang main intimidasi biar nggak ada “pesaing” di daerahnya.
Aplikator: Cuan Jalan Terus
Sementara semua drama itu terjadi, aplikator tetap cuan. Mereka dapet potongan dari setiap order, investasi jalan, dan makin gede valuasi perusahaannya.
Driver? Ya gitu-gitu aja.
Solusi yang Sering Diusulin Driver
Biar nggak cuma ngeluh, driver juga sering kasih solusi:
- Naikin tarif dasar biar layak.
- Potongan aplikator diturunin.
- Bonus/insentif dibuat transparan.
- Sistem suspend lebih adil.
- Ada perlindungan sosial buat driver.
Tapi masalahnya, aplikator sering nganggep itu cuma “aspirasi”. Realisasi? Nol besar.
Hubungan aplikator ojol dengan driver emang kayak sinetron stripping: panjang, berliku, penuh drama, tapi ratingnya tetep tinggi karena semua orang butuh.
Selama aplikator masih ngejar cuan besar tanpa mikirin kesejahteraan driver, drama ini bakal terus berulang.
Driver bakal tetep jadi pahlawan jalanan yang rela panas-panasan, hujan-hujanan, demi nganterin kita semua. Tapi mereka juga manusia yang butuh dihargai, bukan cuma dimanfaatin.
Jadi, buat aplikator:
“Inget bro, tanpa driver, aplikasi lo itu cuma ikon doang di HP.”
Posting Komentar