no license please
Bookmark

Keresahan Masyarakat Indonesia: Dari Harga Cabai Sampai Drama Dunia Maya

Indonesia, negeri +62, penuh warna dan cerita. Tapi di balik keramahtamahan, tawa receh, dan tradisi gotong royong, tersimpan berjuta keresahan yang kadang... lebih kompleks dari skripsi anak semester akhir. Nah, kali ini kita bakal bedah secara santai tapi mendalam: apa aja sih keresahan paling relate dari masyarakat Indonesia zaman sekarang?
“Hidup di Indonesia itu unik. Mau marah, tapi sambil ketawa. Mau protes, tapi takut dibilang baper. Jadi ya udah… ngeluhnya di status.”
Keresahan Masyarakat Indonesia
Illustrasi

Harga Sembako: Naiknya Kayak KPR, Turunnya Gak Pernah

“Cabai 80 ribu sekilo, Bensin naik, gas LPG ilang, minyak goreng naik, tapi gaji mah tetep.”
Kalau ada lomba "topik yang paling bikin rakyat pusing tiap minggu", jawabannya udah pasti: harga kebutuhan pokok.
  • Cabai merah = mahal.
  • Minyak goreng = naik harga.
  • Gas 3kg = ilang
  • Beras = naik terus kayak mimpi jadi orang kaya.
Anehnya, tiap kali harga naik, pemerintah selalu bilang, “ini hanya sementara karena faktor cuaca dan distribusi.” Tapi ‘sementara’-nya udah kayak hubungan tanpa kepastian—gak kelar-kelar.
Keresahan ini bukan sekadar urusan dompet, tapi juga urusan psikologis. Bayangin: emak-emak yang belanja ke pasar tiap hari, pusing ngatur uang belanja sambil mikirin anak-anak yang doyan jajan online.

Infrastruktur Banyak, Tapi Macet Gak Pernah Move On

Pemerintah sibuk bangun infrastruktur (which is good, ya!), tapi realitanya... kemacetan tetap jadi sahabat karib masyarakat urban, khususnya di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya.
“Jalan tol dibuka, flyover dibangun, tapi kenapa ke kantor masih butuh 2 jam lebih?”
Ada yang bilang: “karena jumlah kendaraan gak seimbang sama infrastruktur."
Ada juga yang nyeletuk: “karena orang +62 susah lepas dari kendaraan pribadi.”
Intinya, masyarakat masih resah: jalanan makin lebar, tapi pergerakan tetap lambat. Dan jangan lupa, pengendara motor yang suka lawan arah + mobil yang asal parkir = kombinasi maut.

Sistem Pendidikan: Nilai Bagus, Tapi Bingung Mau Jadi Apa

Pendidikan di Indonesia tuh masih sering dinilai dari angka, bukan makna. Anak-anak dituntut hafal rumus, tapi jarang diajarin critical thinking atau cara survive di dunia nyata.
“Ranking 1 terus, tapi pas ditanya cita-cita jawabnya: yang penting gak jadi pengangguran.”
Hasilnya?
Banyak lulusan bingung arah hidup.
Jurusan kuliah gak sesuai minat.
Fresh graduate ditanya "pengalaman kerja" padahal baru lulus
Gen Z makin kritis, mereka sering bilang: “ngapain belajar integral, toh gak kepake pas ngisi e-form BPJS.”

Kesehatan Mental Masih Dianggap Halusinasi

Ini real. Banyak masyarakat yang masih belum bisa membedakan antara mental illness dan kurang semangat hidup biasa.“Curhat soal kecemasan, eh malah dibilang kurang ibadah.”
Padahal...
Anxiety bukan karena kurang piknik.
Depresi gak bisa sembuh cuma dengan “positive vibes aja”
Sayangnya, biaya konsultasi psikolog di Indonesia masih mahal buat banyak orang. Di sisi lain, stigma soal “gila” masih kuat. Akhirnya, banyak orang nahan sendiri... sampai meledak.

Sosial Media: Tempat Pelarian, Tapi Juga Sumber Stres

“Scroll TikTok biar happy, eh malah nemu konten flexing, terus insecure.”
Masyarakat +62 hidup diantara dua dunia:
  1. Dunia nyata yang penuh drama.
  2. Dunia maya yang penuh drama juga, tapi bisa pakai filter.
Media sosial jadi pelarian, tapi juga bikin tekanan sosial makin tinggi. Orang berlomba jadi “estetik”, pengen viral, pengen diakui, pengen eksis. Tapi gak semua siap nerima komentar julid.
Fenomena oversharing, fear of missing out (FOMO), dan bandingin diri sama orang lain makin jadi. Tapi ya gimana... sosmed udah kayak nasi: susah ditinggalin.

Politik: Warga Bingung, Janji Kampanye Mengawang

“Pas kampanye janji gratisin semua. Pas udah kepilih, lupa semua.”
Politik di Indonesia udah kayak sinetron: penuh drama, plot twist, dan kadang absurd. Warga makin skeptis:
  • Janji-janji pemilu = bagaikan janji mantan.
  • Debat capres = kayak podcast receh.
  • Rakyat resah tapi bingung mau percaya siapa.
Lebih parahnya lagi, banyak anak muda ngerasa politik itu “gak penting”, padahal mereka lah yang paling terdampak. Akhirnya, resah terus... ga tau juga mau ikut suara siapa.

Koneksi Internet: Konon Katanya 5G, Nyatanya 2G

“Katanya internet cepat, tapi buat buka YouTube aja muter-muter kayak hubungan kita.”

Di kota besar sih enak. Tapi coba deh tanya warga pelosok: “akses sinyal gimana?”
Banyak yang harus naik ke atap, naik bukit, atau manjat pohon demi dapat sinyal.

Padahal, zaman sekarang semua serba online:
Sekolah daring.
Belanja daring.
Ngelamar kerja daring.
Jualan daring.
Tapi koneksi internet masih jadi keresahan utama. Gak adil rasanya kalau cuma kota besar yang merasakan "Indonesia digital".

Pengangguran & Gaji Gak Seimbang

“Loker batas usia maksimal 25 tahun, minimal punya pengalaman 5 tahun.”
Pengangguran masih jadi masalah akut. Generasi sekarang banyak yang nganggur bukan karena malas, tetapi :
Lowongan gak relevan.
Persaingan gila-gilaan.
Gaji gak sebanding sama kerjaan.
Ujung-ujungnya: mereka terpaksa kerja apapun demi bertahan. Yang penting ada pemasukan dulu, passion bisa nunggu.

Bencana Alam: Musiman Tapi Gak Pernah Siap

“Musim hujan = banjir. Musim panas = kekeringan. Tengah-tengah = polusi.”
Keresahan paling klasik di Indonesia: bencana yang rutin tapi selalu panik.
Setiap tahun banjir = tetap aja jalanan tergenang
Kebakaran hutan = tetap ngaruh ke kualitas udara
Longsor = tetap ada korban karena peringatan telat
Masyarakat merasa lelah karena siklusnya berulang. Mau salahin siapa juga bingung. Pemerintah bilang sudah antisipasi, warga bilang "kok masih begini?"

Kehidupan Sosial: Makin Canggung, Makin Individualis

“Punya tetangga tapi gak kenal. Kenalan baru malah dari random DM Twitter.”
Dulu orang Indonesia dikenal ramah dan suka ngobrol. Sekarang? Banyak yang lebih nyaman ngobrol via chat ketimbang tatap muka.
Apalagi setelah pandemi, interaksi sosial makin canggung. Masyarakat jadi lebih tertutup, lebih sensitif, lebih cepat tersinggung, tapi juga makin rindu koneksi yang real.
Resah Itu Boleh, Asal Jangan Pasrah
Indonesia adalah negara besar, namun keresahan rakyatnya lebih besar lagi. Tapi jangan salah: di balik keresahan ada harapan.
Masyarakat Indonesia itu tangguh. Mereka bisa sambil ngeluh tapi tetep kerja. Bisa kesel, tapi tetap bertahan. Bisa ngerasa hopeless, tapi tetap upload story sambil senyum.
“Keresahan rakyat itu sinyal... bahwa kita semua masih peduli.”
Jadi, teruslah bersuara. Entah lewat status, petisi, obrolan warung kopi, atau bahkan... lewat artikel blog kayak gini.
2 komentar

2 komentar

  • Tot
    Tot
    19 Juni 2025 pukul 14.20
    Waduh, saya pun jadi pening baca entri ini. Hehe... tapi ada pepatah Inggeris mengatakan, Ignorance is Bliss. Maksudnya, lagi banyak kita tak tahu, lagi hidup kita happy. Tergelak saya baca ayat di atas, “Scroll TikTok biar happy, eh malah nemu konten flexing, terus insecure.” Haha, terkena batang hidung sendiri ni. Itu sebab saya uninstall terus tiktok. 😂
    • Tot
      Ilham Nurhamzah
      19 Juni 2025 pukul 21.26
      waduh wkwkwk =))
    Reply